Kepemimpinan dan Komunikasi
Tanpa komunikasi yang efektif, bagaimana mungkin seorang pemimpin bisa memimpin?
Masih ada anggapan bahwa orang yang kebanyakan bicara berarti tidak bisa bekerja. “Ah, dia kan cuma ngomong doang,” begitu sayup-sayup terdengar obrolan jam makan siang rekan kerja suatu hari.
Dalam hati saya membatin, “Lho, kalau bukan ngomong, tugas pemimpin emangnya ngapain lagi?”
Kemampuan komunikasi, dalam hal ini berbicara, jelas bukan sekadar “cuma” bagi seorang pemimpin. Justru inilah alat utama dalam memimpin. Bagaimana mungkin tim bisa memahami isi kepala pemimpinnya bila ia tidak mampu mengomunikasikannya? Bagaimana mungkin tim bisa bergerak dengan penuh komitmen bila arah yang disampaikan pemimpin tidak jelas?
Di titik inilah sering dikatakan bahwa kepemimpinan dan komunikasi tidak bisa dipisahkan. Kualitas kepemimpinan tercermin dari kualitas komunikasinya.
Komunikasi yang tidak dilakukan dengan efektif justru mengarah pada miskomunikasi. Semuanya menjadi serba tidak jelas. Tim bingung, energi habis, dan akhirnya produktivitas menurun.
Saya teringat pengalaman di awal karier, ketika berhubungan dengan rekan kerja. Saya merasa sudah menyampaikan informasi dengan jelas melalui email, berisi permintaan data penting yang saya butuhkan segera. Namun seminggu kemudian, data itu tak kunjung datang. Saat saya tanyakan, ternyata rekan kerja tersebut tidak pernah membaca email saya. Bahkan ia merasa tidak pernah menerimanya. Kok bisa?
Mungkin karena ia jarang membuka email. Bisa jadi pesan saya tenggelam di antara ratusan email lain. Atau ada alasan lain. Yang jelas, komunikasi saya waktu itu tidak sampai. Tidak tepat sasaran. Ia tidak memahami urgensi kebutuhan saya terhadap data tersebut, dan jelas bahwa tujuan saya tidak tercapai.
Belakangan saya sadar, saat itu saya gagal menerapkan komunikasi efektif. Saya hanya fokus pada apa yang saya sampaikan, bukan pada bagaimana pesan itu diterima dan dipahami.
Dari pengalaman itu saya belajar, komunikasi efektif bukan sekadar mengirim pesan. Komunikasi efektif berarti memastikan pesan diterima, dipahami, dan ditindaklanjuti. Komunikasi efektif juga menekankan pentingnya memahami sudut pandang dan kondisi si penerima pesan. Maka perlu ada empati kepada lawan bicara, menyesuaikan gaya komunikasi dengan situasi. Karena tujuan komunikasi cuma satu: memastikan orang lain paham dan mau melakukan apa yang kita mau.
Belajar mengenai komunikasi kepemimpinan membawa saya kemudian terpapar pada pemikiran klasik Aristoteles tentang retorika. Ia menyebut tiga pilar komunikasi yang perlu dimiliki seorang pemimpin untuk memengaruhi orang lain:
- Ethos, kredibilitas. Pemimpin dipercaya bukan hanya karena jabatannya, tetapi karena integritas dan kompetensinya. Misalnya, seorang pemimpin yang konsisten menepati janji atau memberi teladan kerja keras akan lebih mudah dipercaya timnya. Kata-katanya punya bobot karena selaras dengan tindakannya.
- Pathos, emosi. Pemimpin yang mampu menyentuh hati akan lebih mudah menggerakkan tim. Contohnya, saat memberi arahan, pemimpin tidak hanya bicara soal target angka, tapi juga menunjukkan empati pada tantangan yang dihadapi tim, mengakui perjuangan mereka, dan menyalakan semangat dengan cerita yang relevan.
- Logos, logika. Pemimpin yang mampu menyajikan alasan, data, atau penjelasan yang runtut akan lebih meyakinkan. Sebagai contoh, saat mengambil keputusan sulit, ia menyampaikannya dengan argumen logis yang bisa dipahami semua orang, bukan sekadar perintah tanpa alasan.
Tiga pilar ini tetap relevan sampai hari ini dan menjadi pegangan saya. Komunikasi seorang pemimpin menjadi kuat ketika kredibilitasnya jelas, emosinya menyentuh, dan logikanya solid. Hal ini menuntut pemimpin adaptif, kreatif, dan peka melihat konteks: di mana, kapan, dan kepada siapa ia berbicara. Itu tentu membutuhkan pemikiran mendalam, karena dari sekian banyak pilihan kata, pemimpin harus tahu mana yang paling tepat untuk keluar dari mulutnya.
Bagi saya, belajar komunikasi itu seperti perjalanan panjang. Terus bertumbuh, dan semakin dipelajari semakin sadar bahwa masih banyak hal yang perlu dipelajari.
Banyak orang bilang komunikasi itu ada seninya. Tidak ada rumus yang pasti. Di titik inilah kita sadar, bentuk komunikasi terbaik adalah komunikasi yang otentik. Hadir apa adanya. Menjadi diri sendiri.
Made Bhela Sanji Buana
Artikel #3 dalam #MenjadiPemimpin. Ditulis pada September 8, 2025.
Komentar
Posting Komentar