Postingan

Menampilkan postingan dari 2015

Ruang Kreatif Publik : Mewujudkan Lingkungan Kreatif untuk Warga Kota

Gambar
Taman Surapati manjadi Ruang Kreatif Publik bagi Warga Jakarta | Sumber : Dokumentasi Pribadi, 2016 Pendahuluan Kota-kota semakin hari semakin sesak. Urbanisasi yang tak terbendung mengakibatkan kepadatan penduduk yang tinggi. Hal ini tentu kemudian berdampak pada permasalahan perkotaan yang semakin kompleks. Maka tak heran, keterbatasan lahan perkotaan, penurunan kualitas lingkungan hingga hilangnya nilai-nilai manusiawi merupakan masalah bagi sebagian besar kota di dunia dewasa ini. Dalam menyikapi fenomena tersebut, muncul berbagai gagasan pembangunan perkotaan yang mengedepankan aspek keberlanjutan ( sustainable development ), yaitu pembangunan yang berorientasi pada keseimbangan aspek ekonomi, sosial dan lingkungan. Salah satu yang populer saat ini adalah konsep kota kreatif, yaitu gagasan pengembangan perkotaan berbasis kreativitas. Konsep ini berkaitan dengan implementasi ekonomi kreatif sebagai upaya mengelola sumber daya perkotaan agar bernilai tambah (Landry, 200...

24 Tahun, Mau Jadi Apa?

2 Juli 2015. Jika hidup adalah sebuah perjalanan, perjalanan ini sudah berusia 24 tahun. Jika hidup dikatakan sebagai sebuah cerita, barangkali inilah episode yang penting untuk menentukan jalan cerita selanjutnya. Om Awighnam Astu  Namo Siddham. Semoga kebaikan selalu datang dari segala penjuru.  “Mau jadi apa?” “Mau dibawa kemana hidupmu?” “Apa rencanamu selanjutnya? “Kapan kawin?” Pertanyaan menyebalkan yang selalu terngiang di telinga dan membuat tak nyenyak tidur. Disisi lain, pertanyaan ini juga menimbulkan efek jengah yang dahsyat. Terlebih lagi situasi teman sebaya di usia ini yang seringkali terlihat lebih “beruntung” dalam hidupnya. Ah, sebenarnya tentu bukan saatnya untuk sekedar mengutuk keterbatasan. 

Merantau Lagi

Saya masih ingat betul. Waktu itu tanggal 3 Agustus 2009, ketika kali pertama saya naik pesawat terbang dan melihat awan lebih dekat. Penerbangan pagi dari Denpasar menuju Jogjakarta ditemani kakak. Wah senang sekali rasanya. Maklum, jangankan jalan-jalan ke luar Bali atau ke luar negeri. Saya tumbuh di kota kecil Jembrana yang ke kota Denpasar saja jarang. Saya merantau di Jogja untuk melanjutkan pendidikan pasca SMA. Tempat itu merupakan kilometer terjauh antara saya dan rumah untuk waktu yang tidak sebentar. Sedih sudah pasti. Jauh dari keluarga. Namun sejak saat itu, saya sering menyemangati diri dengan, “ Baiklah, sekarang saya menjadi seorang perantau! ”. Berkali-kali saya hentakkan kalimat itu dengan keras di dalam hati. Merantau di Jogja. Kota sejuta pesona. 5 tahun saya habiskan waktu di kota istimewa itu hingga meraih gelar Sarjana. Sarjana Jogja . Tempat saya berkontemplasi ilmu, buku, pesta dan cinta.